Ganja adalah tanaman dengan beragam potensi. Manusia telah memanfaatkan tanaman ini sejak ribuan tahun lalu. Tidak hanya mengandung zat psikoaktif, tanaman ini juga memiliki serat yang kuat, nutrisi yang tinggi, dan minyak untuk energi terbarukan. Bangsa Mesir Kuno sudah menggambarkan ganja untuk pengobatan dalam naskah papirus yang berasal dari 1550 SM.
Sayangnya, ingatan manusia akan potensi-potensi tersebut tergerus oleh penerapan sebuah kesepakatan internasional yang ditandatangani pada 1961. Ganja (Cannabis sativa), bersama koka (Erythroxylum coca) dan opium (Papaver somniverum), dikategorikan sebagai narkotik. Kecuali untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan pengobatan dengan pengawasan ketat, pemanfaatan ganja dilarang di negara-negara anggota PBB.
Pada masa kolonial, hampir seluruh petani di Aceh menanam ganja untuk menghalau hama pohon kopi, tembakau, atau cabai yang secara ekonomis nilainya lebih tinggi. Sebuah laporan menyebutkan sisa daun ganja untuk membalut tembakau agar tetap kering dan tidak berulat dibuang begitu saja di pasar sebelah Masjid Raya Banda Aceh hingga 1945 (Sinar Harapan, 2 Juli 2008).
Sejak dilarang sesuai konvensi PBB melalui UU Narkotika 1976, tanaman ganja mulai dibudidayakan secara komersial di Indonesia. Upaya-upaya pemusnahannya membuat ganja langka dan berharga tinggi di pasar internasional. Namun, hanya sindikatlah yang mungkin menguasai seluruh aspek ekonomi ganja karena bersedia melakukan apapun, mulai dari menyuap aparat hingga melakukan kontak senjata demi mengamankan bisnis ini.
Pada 2014, Polri berhasil menyita barang bukti 8,41 ton ganja atau 5,31% dari 158,52 ton estimasi ganja di Indonesia, 94,69% sisanya berhasil lolos dan diedarkan. Sitaan barang bukti ganja sedikit lebih baik pada 2013, yaitu 17,76 ton (BNN, 2015). Data-data sitaan tersebut membuktikan bahwa yang menguasai ganja di Indonesia bukanlah negara yang memberlakukan UU Narkotika, melainkan sindikat pengedar.
Sementara sindikat meraup laba besar dari penguasaan ganja sejak 1976, masyarakat terus dihadapkan pada dampak sosial dan ekonomi pelarangan komoditas ini.
Penjara yang penuh sesak, tingginya biaya konsumsi, serta maraknya praktik suap dan pemerasan berkaitan dengan upaya penegakan hukum merupakan sejumlah dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan oleh pemidanaan ganja. Situasi tersebut terus berkembang hingga bermunculanlah kelompok-kelompok advokasi untuk mengeluarkan ganja dari hukum pidana di Indonesia.
Agar tidak terjebak pada kepentingan para penganut faham ekonomi liberal, arah advokasi ganja di Indonesia harus ditetapkan. Acap kali, untuk membiayai gerakannya, kelompok-kelompok advokasi menerima sumber daya dari pengusaha yang siap melakukan industrialisasi ganja. Perubahan kebijakan yang dituntut sebuah gerakan kemudian mengikuti kepentingan industri yang kapitalistik.
Liberalisasi adalah kutub yang berseberangan dengan kebijakan pelarangan. Jika pada pelarangan seluruh aspek ekonominya dikuasai sindikat kejahatan melalui pasar gelap, maka kebijakan liberal memungkinkan pemodal untuk bersaing secara bebas mengomersialkan ganja. Dengan pendaftaran dan izin usaha, pemerintah dapat memungut pajak dari penghasilan usaha komersialisasi ganja.
Atas potensi penerimaan pajak, ide mengubah kebijakan ganja dari pelarangan ke liberalisasi lebih dapat diterima. Di negara yang penguasa-penguasanya bermental preman, yang terlalu malas memikirkan cara lain untuk meningkatkan pendapatan negara selain memalak, kebijakan ini sangat diminati.
Anggapan sebagian masyarakat bahwa konsumsi ganja, walaupun sudah tidak dipidanakan, adalah dosa, melegitimasi pungutan pajak yang tinggi (sin taxing, cukai). Ini terjadi pada rokok dan minuman beralkohol saat ini. Penetapan cukai yang tinggi diyakini bisa mengurangi jumlah konsumen karena ketidakmampuannya membeli, jadi yang akan mengalami dampak merugikan konsumsi komoditas tersebut (termasuk dosa) hanyalah kalangan kaya.
Penetapan cukai yang kelewat tinggi supaya hanya orang kaya yang mampu mengonsumsi, memunculkan produk-produk palsu, selundupan, serta oplosan di Indonesia. Tingginya cukai juga membuat industri berskala kecil gulung tikar karena sebelum dibayar konsumen, cukai harus ditanggung produsen terlebih dulu. Belum lagi mereka harus bersaing dengan produk-produk palsu dan selundupan yang harganya pasti lebih murah karena tanpa cukai.
Selain dikenakan cukai tinggi, banyak peraturan daerah di Indonesia menetapkan minuman beralkohol hanya dapat diedarkan di hotel berbintang, restoran, atau kelab yang tidak ramah bagi rakyat jelata. Melalui kebijakan tersebut, pemerintah menyuguhi kalangan ini dengan metanol (alkohol untuk bahan bakar bukan untuk konsumsi tubuh) dan kadang racun serangga sebagai bahan oplosan minumannya. Banyak nyawa yang terenggut karena konsumsinya.
Walaupun merupakan kutub yang berseberangan dengan pelarangan, kerugian sosial ekonomi yang dialami masyarakat sama tingginya dalam penerapan kebijakan liberalisasi. Untuk itu, saya mengusulkan tiga skema pengaturan agar penguasaan ganja tidak jatuh baik ke tangan sindikat kejahatan maupun industri yang kapitalistik. Sebaliknya, ganja dapat dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Skema 1. Sebagai upaya menurunkan nilai ekonomisnya, ganja boleh ditanam siapapun di pekarangan rumah untuk kebutuhan pribadi. Ketiadaan larangan tidak serta-merta membuat semua orang menanam ganja sebagaimana dikhawatirkan banyak pihak. Sebelum 1976, tidak semua orang Aceh menanam ganja.
Ketika ganja sudah dianggap sebagai tanaman liar, dengan sendirinya akan terabaikan. Walaupun krokot, kelor, atau alang-alang, contohnya, memiliki khasiat pengobatan, keberadaannya kerap dianggap mengganggu keindahan atau mengganggu pertumbuhan tanaman lain sehingga dicabuti dan dibuang. Inilah yang diharapkan dari penetapan ganja sebagai tanaman pekarangan dalam jangka panjang.
Skema 2. Saat ganja boleh ditanam di pekarangan, mungkin negara-negara lain masih memberantasnya sehingga terjadi disparitas harga yang menjadi peluang bisnis menggiurkan. Negara harus mengambil alih budi daya ganja yang berpotensi untuk dikomersialkan. Dengan anggaran negara, perkebunan ganja berskala luas yang menyerap banyak tenaga kerja sangat dimungkinkan. Komersialisasi oleh sektor privat bisa diminimalkan bahkan dicegah.
Tanaman ganja tidak hanya memiliki potensi obat, tapi juga berbagai keperluan masyarakat seperti kertas, biopestisida, atau bahan bakar. Ganja untuk produk-produk tersebut dikuasai oleh negara terutama pembudidayaan dan manufakturnya. Perencanaan, pembinaan, dan pengawasan rantai pasokan (proses pengolahan bahan baku hingga penyerahan ke konsumen) berada di bawah kewenangan sektor terkait. Contoh, Kementerian ESDM untuk biofuel.
Mekanisme pajak dapat diberlakukan bagi sektor privat yang mengolah terutama serat ganja menjadi produk-produk inovatif. Namun, pemanfaatan tanaman ganja untuk cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, tetap dikuasasi negara.
Skema 3. Produk-produk farmasi yang dihasilkan dari kandungan zat kimia tanaman ganja harus dikendalikan negara. Kewenangan pasokannya berada di bawah Kementerian Kesehatan dan produk-produknya diawasi oleh Badan POM. Perolehannya hanya dapat dilakukan di gerai-gerai farmasi dengan resep dokter. Keengganan masyarakat untuk berkonsultasi dengan dokter karena alasan biaya sudah dapat teratasi melalui sistem jaminan kesehatan nasional saat ini.
Jika dalam pelarangan dan liberalisasi harga ditentukan oleh mekanisme pasar, maka dalam skema ini harga ditentukan oleh pemerintah. Kendali harga dibutuhkan sebagai upaya meruntuhkan pasar gelap termasuk pemalsuan serta perlindungan konsumen dari produk-produk berbahan baku ganja dengan mutu yang tidak terjamin. Bisnis gelap produk-produk sejenis tentu tidak akan mampu bersaing, terutama secara harga bahkan mungkin kualitas.
Pendukung pasar gelap dan penganut faham ekonomi liberal tentu akan menentang sekuat tenaga skema penguasaan ganja oleh negara dan rakyat, termasuk melalui tuntutan perubahan kebijakan yang disuarakan kelompok-kelompok advokasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar