Selasa, 10 Januari 2017

Halo, Saya Perempuan yang Mengisap Ganja Secara Reguler

Redaksi kami menerima kiriman email berisi testimoni dari seorang perempuan yang mengaku menjadi pengguna ganja aktif. Kalau pun ada yang bisa dijadikan perhatian serius, hal itu tidak lain adalah mengenai bagaimana ganja bisa menjadi teman hidup yang sama sekali jauh dari stigma buruk aparatur negara dan sebagian masyarakat selama ini.
Dengan tangan amat terbuka, kami redaksi lgn.or.id sejujurnya mengharapkan testimoni semacam ini bisa terus dikirimkan kepada kami, untuk melihat bagaimana ganja justru bisa menjadi trigger bagi hal-hal baik yang dilakukan oleh para penggunanya.
Selain untuk semakin membuka mata masyarakat bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari ganja sebagai tanaman, testimoni dari para pasien ganja medis atau bahkan para stoner sekalipun, tentunya akan sangat berguna sebagai informasi bagi masyarakat luas mengenai manfaat tanaman yang kerap diharamkan ini.
Berikut adalah penuturan RN mengenai penggunaan ganja dalam hidup kesehariannya:
1429551096-1429307080-125144057
Halo, Saya Perempuan Yang Mengisap Ganja Secara Reguler
Saya seorang warga negara Indonesia, berjenis kelamin perempuan, dan seorang pemakai ganja reguler. Reguler yang dimaksud di sini adalah membeli, menyimpan, melinting dan mengisapnya secara teratur setiap hari, seperti kamu membeli rokok atau beras pada umumnya.
Saya memilih ganja atas kesadaran sendiri. Mengenal ganja sejak usia sekolah, saya pernah mencoba alkohol dan olahan kimia lain, benda-benda yang dibuat oleh manusia, tetapi akhirnya selalu kembali pada ganja, tanaman yang asli diberi Tuhan.
Jangan salah. Saya datang dari keluarga baik-baik, hangat, dan utuh. Saya percaya Tuhan dan menunaikan ibadah sesuai jalurnya. Saya berpendidikan dan saat ini, menghasilkan uang dari bidang yang menjadi hobi. Saya punya banyak teman dan suka nonton acara musik. Saya tidak punya catatan kriminal, hidup normal seperti kamu, dan saya menikmati ganja setiap hari, minimal satu linting kecil sebagai pengantar tidur.
Secara umum, ganja mengubah hidup saya yang pada dasarnya introvert. Kadang, saya punya masalah bersosialisasi. Istilah kerennya, anxiety. Saya seorang perfeksionis yang emosional, serta kerap mengalami insomnia, karena pikiran selalu penuh. Kamus Bahasa Inggris menyebutnya sebagai overthinking. Juga, menderita migrain dan susah konsentrasi.
Ganja membantu mengatasi itu semua. Bahkan saya berani bilang, diselamatkan ganja. Dia membuat saya bahagia, mudah bersyukur, belajar ikhlas, mengubah cara pandang dalam banyak hal, menikmati hal-hal kecil, serta memberi kemudahan tidur di malam hari. Ganja bahkan menjauhkan drama khas perempuan dari kehidupan, salah satu dampak terbaik, menurut saya. Saya menjadi orang yang lebih baik, lebih gembira. Migrain jarang menyerang, kini penyebabnya sudah spesifik dan bisa dihindari.
Dulu, saat kuliah, saya sempat mengalami pendarahan. Berbulan-bulan, setiap hari. Berat badan kurang dari 40 kilogram, saya harus minum obat hormon. Dokter bilang, saya stres dan kurang gizi. Ganja mengalahkan keduanya tanpa campuran kimia. Dia pun gagah berani melindungi saya dari kram perut bulanan saat kodrat menegaskan takdirnya.
Secara pribadi, saya jadi sering berdialog dengan diri. Mempertanyakan, mempertimbangkan. Tak bisa dipungkiri, ganja membantu mengambil keputusan-keputusan ketika saya harus ikhlas memilih. Dalam prosesnya, saya jadi tahu dan mengenal diri lebih dalam. Kadang, saya menyerah dan memilih ngobrol sama Tuhan, lalu merasa lebih baik. Ganja menemani khayalan dan imajinasi, membuat saya merasa positif dan berpikir, “Ah, aku bisa nih.”, terutama karena saya bekerja di bidang kreatif. Tak jarang, ide tiba-tiba muncul, seperti tulisan ini.
Harap digarisbawahi, saya tidak mengajak atau menyarankan para perempuan lain untuk merokok ganja. Tidak. Merokok ganja seharusnya menjadi keputusan pribadi. Suka atau tidak, tertarik atau tidak, pro atau kontra, semua berpulang pada masing-masing pribadi. Lagian saya tidak punya banyak teman perempuan, tidak bisa kasih jaminan dampaknya akan sama seperti yang saya alami. Dalam tulisan ini, saya berbagi dan mengajak buka pikiran. Ganja tidak jahat. Alam tidak pernah jahat pada manusia. Yang jahat itu manusia.
Selama bertahun-tahun, saya memperhatikan kaum perempuan kerap menjadi warga kelas dua dalam dunia yang memang didominasi laki-laki. Dua mantan pacar tidak suka saya merokok ganja, tetapi mereka peminum alkohol. Seorang lelaki yang lagi ngedeketin kaget melihat saya punya penyimpanan khusus. Bahkan di kalangan teman-teman sendiri, mereka tidak kenal perempuan lain yang reguler merokok ganja selain saya. Saya jadi heran, terutama karena saya tahu cukup banyak perempuan yang juga menikmati ganja.
Bedanya, mereka bukan pengguna reguler. Hanya penikmat, sebagian karena pasangan mereka, kebanyakan lantaran mau ‘mabuk’nya, jadi tidak mau kenal siapa Ganja itu. Padahal, manfaatnya berlimpah-ruah, tak sekadar haha-hihi lalu bingung makan ayam goreng saos mentega atau pakai sambal bawang.
Ganja berbeda dari rokok dan alkohol. Selama berpuluh-puluh tahun, ganja dikampanyekan sebagai sebuah hal berbahaya, demi melindungi banyak kepentingan. Padahal, setiap bagian ganja bisa dimanfaatkan, dan sebenarnya, uang yang dihasilkan tidak sedikit.
Di Colorado, Amerika, hasil pajak ganja digunakan untuk memberi rumah bagi kaum papa, untuk pendidikan serta kesehatan. Sejak ganja medis legal di sana, orang berbondong-bondong pindah. Artinya, ekonomi kota yang lebih baik, DAN bahwa ada banyak orang membutuhkan manfaat ganja.
Di sini diinfokan dengan bangga, ganja tidak membuat saya jadi apatis atau tidak bertanggung jawab. Saya bangun pagi, melakukan tugas-tugas rumah tangga, menyelesaikan pekerjaan sebelum tenggat waktu, curhat berdua sama ibu, serta menyimak kondisi politik Indonesia. Sayangnya, saya masih harus merahasiakan tentang sahabat baik saya ini dari keluarga. Saya punya mimpi tidak perlu menyembunyikan hal ini di rumah, karena memang tidak ada hal buruk tentangnya.
Ditegaskan pula dalam tulisan ini, saya tak setuju jika ganja dilegalkan penuh di Indonesia. Ganja medis sepertinya lebih baik dan tepat sasaran. Tentu saja, ganja sebaiknya dikeluarkan dari daftar psikotropika. Menurut saya, secara mental warga Indonesia belum siap bertanggung jawab atasnya. Ada istilahnya, gunggungan. Susah merasa cukup, jadi minta lagi, terus-menerus. Lalu pamer dengan tidak bertanggung jawab. Yang kayak begini tentu tidak baik. Seperti semua hal di dunia, yang berkelebihan itu tak baik.
Di lingkungan sendiri, saya belum pernah menemukan pemakai ganja yang ‘rusak’ dalam artian menurut sistem masyarakat umum. Semua bekerja, beberapa punya anak, dan hidup normal. Kami tidak merencanakan kejahatan, kami tidak korupsi, justru sebaliknya. Kami berdiskusi, berkhayal, menemukan inspirasi baru, berkarya. Kami main musik, menulis, atau tidur. Sungguh mengerikan stigma yang menyebut ganja merusak masa depan. Alkohol dan obat-obatan kimia, ya, mereka merusak. Tetapi ganja? Dia cuma tumbuh dan tidak melakukan apa-apa lagi. Bagaimana mungkin manusia ketakutan dan merasa terancam oleh tumbuhan?
Tulisan ini secara spesifik ditujukan kepada perempuan, karena FYI, ganja yang dicari itu yang perempuan. Iya, tanaman ganja juga punya gender. Keren, ya. Hehehehe. Bukan berarti saya ahli. Sampai hari ini pun, saya masih terus belajar tentang ganja. Tidak dengan militan, saya menerima dan menghormati pilihan orang lain. Namun saya menyampaikan, ganja layak mendapat kesempatan. Bijaklah, jangan berteriak kalau tak tahu, tak perlu nyaring jika kosong. Banyak membaca toh tidak pernah merugikan.
Belakangan ini, artikel-artikel tentang ganja sudah mudah didapat, bahkan beberapa media di Indonesia menurunkan tulisan khusus. Di Amerika, majalah wanita Elle memuat Women and Weed – Marijuana and Pop Culture. Revolusi ganja sedang berlangsung, dan di dalamnya, lahir revolusi ganja dan perempuan. Faktanya, di Amerika, ada wanita-wanita penguasa industri ganja. Ganja bukan mutlak milik pria.
Saya tidak melabeli diri sebagai seorang stoner atau pothead, atau apapun, namun saya bertanggung jawab atas pilihan pribadi memakai ganja. Saya menyayangkan paradigma yang telanjur melekat padanya.
Ganja datang dari alam, mempunyai hubungan sangat panjang dengan manusia dan bahkan terbukti menyembuhkan. Lalu mengapa hari ini kita tak bisa mengatakan ‘ganja’ dengan bebas, keras-keras di depan umum, seolah dia Voldemort? Bahkan, artikel tentang legalisasi ganja di salah satu media besar Indonesia masuk dalam divisi ‘kriminal’, padahal sepanjang sejarah, tak seorangpun pernah kehilangan nyawa karenanya. Justru, ia menyelamatkan dan membuat hati gembira, karena sesungguhnya, hati yang gembira adalah obat kehidupan.
Mari membuka pikiran, jadi perempuan cerdas.
Regards,
RN.
NB: Semua fakta yang tercantum dalam tulisan ini bisa dipertanggungjawabkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar