Selasa, 10 Januari 2017

Ganja dan Sakit Kronis

“Terlalu berlebihan berharap untuk hidup tanpa rasa sakit
Adalah salah berharap untuk hidup tanpa rasa sakit
Karena rasa sakit adalah pertahanan tubuh kita
Tak peduli seberapa tak sukanya kita
Dan tak ada yang suka rasa sakit
Rasa sakit itu penting
Dan kepada rasa sakitkah kita harus berterimakasih
Bagaimana kita bisa tahu
Untuk menarik tangan dari api?
Jari kita dari belati?
Kaki kita dari duri?
Jadi rasa sakit itu penting
Dan kepada rasa sakitlah kita harus berterimakasih
Namun, ada sejenis rasa sakit yang tak ada gunanya
Itulah rasa sakit kronis
Itulah pasukan elite rasa sakit yang bukan untuk pertahanan
Itu adalah kekuatan yang menyerang
Penyerangan dari dalam
Penghancuran kebahagiaan pribadi
Penyerbu tak kenal lelah bagi kedamaian pribadi
Dan pelecehan berkelanjutan bagi hidup!
Rasa sakit kronis adalah aral rintang terberat bagi pikiran.
Kadang rasa sakit itu nyaris mustahil untuk dilampaui.
Namun, kita harus tetap mencoba.
Dan mencoba.
Dan mencoba.
Sebab jika tidak, ia akan menghancurkan kita…”
Puisi tersebut adalah karya Jonathan Wilson Fuller yang secara kebetulan saya temukan di dalam sebuah buku karya seorang biksu Budha, Ajahn Brahm, yang berjudul, “Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya”. Sebagai penderita nyeri kronis saya merasa terwakili oleh puisi tersebut.
Sungguh sangat sedikit yang dapat memahami apa yang dirasakan oleh orang-orang yang menderita nyeri kronis. Sangat sedikit yang dapat mengerti bahwa nyeri kronis benar-benar dapat menimbulkan frustasi. Apalagi di Indonesia. Puisi tersebut memberikan gambaran yang akurat.
Alternatif pereda nyeri kronis yang disediakan oleh dunia kedokteran dan farmasi adalah dengan obat-obatan berbasis opium atau morfin. Namun hal tersebut tidak menyelesaikan masalah, dan bahkan menimbulkan dilema. Karena nyeri kronis adalah “pasukan elite” rasa sakit yang tidak dapat dihentikan begitu saja dengan obat-obatan tersebut. Maka, bagi para penderita harus menggunakannya secara terus menerus.
Masalahnya, penggunaan obat-obatan berbasis opium secara terus-menerus akan mengakibatkan kebal. Artinya untuk mendapatkan efek yang sama dibutuhkan dosis yang lebih banyak. Peningkatan dosis berpotensi mengakibatkan gangguan kesehatan. Ancaman gangguan, bahkan kerusakan jantung, lever, atau ginjal.
Berdasarkan hasil penelitian di banyak Negara di dunia (Israel, Belanda, Amerika Serikat, tiongkok, dan lain-lain), ganja adalah alternatif yang efektif dan aman bagi peredaan nyeri kronis. Sayangnya, UU RI No. 35, tahun 2009, tentang Narkotika telah menghalangi para penderita nyeri kronis untuk menggunakan ganja demi kepentingan kesehatannya. Bahkan yang memilih untuk menggunakan ganja guna mengatasi rasa sakit dan penderitaannya justru diperpanjangkan oleh negara kita.
Hak Kesehatan Warga Negara dalam Konstitusi NKRI
Undang-undang dasar 1945 dengan tegas mengamanatkan agar Hak Konstitusional setiap Warga Negara dijamin dan dilindungi. Hak Konstitusional meliputi, antara lain, hak kesehatan, hak pendidikan, dan hak penghidupan yang layak, hak mendapatkan jaminan rasa aman, dan seterusnya.
Undang-undang yang merupakan turunan dari Undang-undang Dasar, harus menjamin terpenuhinya Hak Konstitusional Warga Negara tersebut. Tetapi, UU RI No. 35, tahun 2009, tentang Narkotika ternyata justru telah merampas dan menghilangkan Hak Konstitusional Warga Negara Republik Indonesia.
Untuk itulah upaya amandemen terhadap UU RI No. 35, tahun 2009, tentang Narkotika, pantas kita tempatkan sebagai prioritas. Demi terbangunnya sistem hukum yang benar-benar mampu memberikan jaminan rasa aman. Demi terpenuhinya Hak Konstitusional segenap Warga Negara, demi tegaknya Pancasila sebagai dasar Negara, dan demi tegaknya Pancasila sebagai dasar Negara, dan demi terwujudnya cita-cita serta janji Proklamasi Kemerdekaan kita.
“….Kita harus tetap mencoba
Dan mencoba
Dan mencoba…..”
 
 
Salam hangat,
Rutan Jogja, 2 Oktober 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar