Selasa, 10 Januari 2017

Legalisasi Ganja dan Revolusi Konstitusi

Legalisasi, berarti disahkan menurut Undang-undang atau hukum yang berlaku (Kamus Hukum, Dictionary of Law Complete Edition, Reality Publisher, Surabaya). Sedangkan revolusi berarti mengembalikan arah pertumbuhan ke arah yang benar, mengembalikan arah pertumbuhan kepada cita-cita awal.
Arah pertumbuhan konstitusi atau Undang-Undang harus dikembalikan ke jalur yang benar karena saat ini Undang-Undang Narkotika kita, yakni Undang-Undang Republik Indonesia No.35 tahun 2009 tentang Narkotika menempatkan ganja sebagai Narkotika golongan I.  Artinya, ganja tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan untuk tujuan apapun kecuali untuk pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Lebih jauh lagi, Undang-Undang Republik Indonesia No.35 tahun 2009 tentang Narkotika juga memberikan ancaman sanksi pidana dan denda uang yang jauh lebih berat daripada ancaman sanksi pidana bagi pelaku tindak kriminal, kepada siapapun yang berani untuk menggunakan dan memanfaatkan ganja.
Dua kenyataan mendasar tersebut, yaitu pelarangan penggunaan dan pemanfaatan ganja untuk tujuan apapun kecuali untuk pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta ancaman pidana yang sangat berat dan tidak rasional bagi yang melanggar, merupakan bukti bahwa jiwa dan semangat Undang-undang Republik Indonesia No.35, tahun 2009 tentang Narkotika tersebut menyimpang dari arah pertumbuhan yang dikehendaki oleh sumber dari segala sumber hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Pancasila. Ditambah dengan fakta bahwa Undang-Undang Republik Indonesia No.35, tahun 2009 tentang Narkotika yang dimiliki oleh Republik Indonesia saat ini dibuat tanpa melalui penelitian ilmiah. Dengan demikian semakin nyata bahwa Undang-Undang Republik Indonesia No.35 tahun 2009 tentang Narkotika tersebut telah melanggar Pancasila. Hal tersebut dapat kita buktikan lewat berbagai tinjauan.
Yang pertama, melarang penggunaan dan pemanfaatan pohon ganja adalah melanggar Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila Pertama Pancasila tersebut adalah merupakan pernyataan pengakuan kita sebagai bangsa atas kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Pengakuan bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah Sang Cansa Prima, Sang Maha Pencipta segala sesuatu, penyebab utama kehidupan di alam semesta, yang keberadaan-Nya tidak disebabkan oleh apapun. Segala yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa pasti tidak ada yang sia-sia, pasti memiliki manfaat bagi kehidupan. Termasuk pohon ganja. Dengan demikian pelarangan terhadap penggunaan dan pemanfaatan pohon ganja merupakan pengingkaran terhadap jiwa dan semangat yang dikandung di dalam Sila Pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Masih dari tinjauan Sila Pertama Pancasila, pernyataan akan kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa tersebut menjadi dasar bagi penyusunan seluruh sistem, struktur, dan mekanisme dari “wadah” yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melalui wadah itulah cita-cita dan janji Proklamasi Kemerdekaan diamanatkan. Hal tersebut dinyatakan dengan sangat tegas dalan alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Artinya, jiwa dan semangat Ketuhanan Yang Maha Esa harus menjadi dasar dan acuan utama dalam seluruh Undang-Undang yang berlaku di Republik Indonesia sejak dari penyusunan Undang-Undang tersebut.
Dengan demikian, Undang-undang Republik Indonesia No.35, tahun 2009 tentang Narkotika yang mengatur masalah kesehatan manusia, yang dibuat tanpa dasar penelitian ilmiah adalah bentuk pelecehan terhadap Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena Undang-Undang tersebut akan mengakibatkan pelecehan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Bahwa menjadi landasan bagi terjadinya kesewenang-wenangan dan serangkaian tindakan mubazir. Mengingkari Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti terwujud dalam Undang-undang Republik Indonesia No.35 tahun 2009 tentang Narkotika, telah melahirkan perilaku para pemangku kewenangan yang menghancurkan martabat kemanusiaan.
Yang kedua adalah dari tinjauan Sila Kedua Pancasila, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Sila tersebut adalah jaminan bagi seluruh warga negara untuk mendapatkan keadilan, dan dilindungi harkat kemanusiaannya. Hal itu menjadi jiwa dan semangat terbentuknya hukum itu sendiri. Di mana hukum dibuat untuk menjamin berlakunya prinsip keteraturan dalam kehidupan. Hukum dibuat untuk menyelamatkan manusia dan melindungi nilai-nilai kemanusiaan untuk menjaga agar Hak-hak Asasi Manusia tidak dilanggar dan dirampas oleh kekuasaan yang sewenang-wenang. Namun dalam kenyataannya, dapat kita lihat dengan jelas bahwa Undang-undang Republik Indonesia No.35 tahun 2009 tentang Narkotika, sepenuhnya bertentangan dengan Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
Kemudian, masih dari tinjauan Sila Kedua Pancasila, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Kita dapat melihat penyimpangan Undang-Undang Republik Indonesia No.35 tahun 2009 tentang Narkotika dari beratnya ancaman sanksi pidana yang diberikan. Ancaman sanksi pidana yang jauh lebih berat, daripada para pelaku tindak kriminal. Hal tersebut tidak sesuai dengan jiwa dan semangat Sila Kedua Pancasila, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
Semakin terasa tidak rasional jika diterapkan kepada kasus-kasus ganja. Karena penggolongan ganja ke dalam Narkotika, dilakukan tanpa melalui penelitian ilmiah sama sekali. Dengan begitu, sejak awal, penyusunan Undang-Undang Republik Indonesia No.35 tahun 2009 tentang Narkotika adalah sebuah bentuk kesewenang-wenangan dan setiap kesewenang-wenangan bertentangan dengan jiwa dan semangat dari Sila Kedua Pancasila, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Hal tersebut terbukti dalam pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No.35 tahun 2009 tentang Narkotika tersebut di lapangan.
Bentuk kesewenang-wenangan yang terjauh dari Undang-Undang Republik Indonesia No.35, tahun 2009 tersebut adalah ketika Undang-Undang dan seluruh praktek pelaksanaan di lapangan, telah terbukti merampas hak konstitusional Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hak konstitusional adalah hak-hak yang dijamin dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, antara lain, hak pendidikan, hak kesehatan, hak pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak jamin rasa aman, dan seterusnya.
Dari uraian singkat ini, semoga dapat dipahami bahwa Undang-undang Republik Indonesia No.35, tahun 2009 tentang Narkotika telah merampas dan menghilangkan hak konstitusional Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itulah, Undang-Undang Republik Indonesia No.35, tahun 2009 tentang Narkotika harus dimohonkan untuk diuji atau lebih dikenal dengan istilah Judicial Review, tentang isi materialnya kepada Mahkamah Konstitusi, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dikembalikan lagi kepada jiwa sumber hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 dan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena hukum dan aturan yang hina, harus hilang dari bumi Indonesia.
“Kebenaran adalah pada kita, pekerti adalah pada kita, dan hukum Allah yang lebih tinggi dari pada hukum manusia, adalah membenarkan kita yang punya tindakan”. (Ir. Soekarno, “Di bawah bendera Revolusi”).
Salam hormat,
Peter Dantovski
Rutan Wirogunan Yogyakarta
1 Oktober 2015
Sumber Gambar:
cdn1.itpro.co.uk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar