Kontroversi PLTN di Iran dan Indonesia
ain Iran lain Indonesia. Di Iran, PLTN dibela habis-habisan, sedang di Indonesia PLTN ditentang habis-habisan. Bila di Iran AS menolak habis PLTN, di Indonesia? Nah, AS sepertinya mendukung. Tapi benarkah dukungan itu? Tulus atau kamuflase?
Seandainya saja Indonesia adalah Iran, apa yang bisa kita katakan tentang rencana pembangunan Pusat Listrik Tenaga Nuklir di Jepara? Entahlah. Di tivi, di koran, majalah, dan radio, hampir semua pendapat yang muncul menolak pembangunan PLTN. Bahkan ulama NU telah mengeluarkan fatwa: pembangunan PLTN di Jepara adalah haram!
Seandainya para ulama NU itu adalah para ayatullah di Iran – apa yang bisa kita bayangkan? Sikap ulama tersebut jelas mustahil. Mereka justru bersikap sebaliknya, mendukung Presiden Ahmadinejad untuk membangun PLTN. Bahkan semua ulama dan rakyat Iran bersedia mati demi realisasi PLTN-nya itu. Di mata Iran, PLTN adalah segala-segala-nya. PLTN bukan sekadar tumpuan masa depan pemenuhan kebutuhan energinya, tapi juga simbol penguasaan teknologi canggih. Iran sadar betul bahwa cadangan minyaknya (baca: saat ini produksi minyak Iran berkisar 4-5 juta barel perhari dengan cadangan yang cukup untuk 100 tahun lebih ke depan) suatu ketika akan habis. Jika sudah habis, maka tumpuannya adalah pada energi nuklir. Karena itu penguasaan terhadap teknologi nuklir untuk pembangkin listrik adalah suatu keharusan. Untuk itulah Iran mau berkorban apa pun demi pembangunan PLTN-nya.
Sekarang, bandingkan dengan Indonesia. Dengan produksi minyak sekitar 1 juta barel perhari, dimana cadangannya hanya cukup untuk sekitar 20 tahun lagi, tapi penolakan terhadap pembangunan PLTN sebagai sumber alternatif penyediaan energi masa depan amat keras. Kami tak tahu, dimana alasan sikap yang anti PLTN Muria tersebut. Ada yang menyatakan, bahwa masih banyak sumber energi aternatif di Indonesia selain nuklir seperti batu bara, gas bumi, tenaga angin, gelombang laut, dan lain-lain. Mungkin Iran pun mempunyai sumber energi alternatif yang sama banyak seperti Indonesia. Tapi kenapa Iran memilih energi nuklir sebagai alternatif utamanya?
Ini terjadi karena pengembangan energi nuklir mempunyai dampak yang amat luas bagi kemajuan teknologi. Pengembangan teknologi nuklir bukan semata-mata untuk membuat bom atom seperti dituduhkan AS, tapi implikasinya untuk kemaslahatan manusia juga sangat luas – khususnya menyangkut pengembangan riset-riset yang berkaitan dengan radiasi nuklir. Misal, aplikasi radiasi untuk mendapatkan bibit unggul (BATAN telah berhasil mengembangkan benih-benih padi unggul), makanan ternak kualitas baik, obat-obatan, teknologi perkayuan, dan peningkatan kualitas komoditi ekspor (karet, polimer, plastik, dan lain-lain). Ini jelas sangat berbeda dengan pengembangan teknologi konvensional untuk mendapatkan energi alternatif yang lain seperti tenaga matahari, angin, ombak laut, dan lainnya. Meski yang terakhir ini banyak juga perluasan manfaatnya, tapi teknologi nuklir jauh lebih luas manfaat dan pengaruhnya pada masa depan kemajuan teknologi suatu negara dan peradaban manusia.
Iran – satu-satunya negara muslim yang tidak terkooptasi AS yang ingin mempunyai PLTN karena menyadari bahwa minyak buminya suatu ketika pasti akan habis -ditentang habis oleh AS dan sekutunya. Dengan berbagai alasan, AS yang menunggangi PBB, menolak proyek PLTN Iran tersebut. Alasannya mudah ditebak: proyek PLTN Iran akan berubah menjadi proyek pembuatan bom atom. Dengan segala daya upaya dan pengaruhnya, AS dan sekutunya, menghalangi pembangunan PLTN Iran tersebut. Apa yang dilakukan AS terhadap Iran jelas tidak adil. Soalnya, AS diam-diam membantu pembangunan PLTN untuk Israel, bahkan lebih jauh lagi, AS pun membantu Israel untuk membuat bom atom.
Kini, Israel telah menjadi salah satu negara pembuat dan pemilik bom atom. Sementara Iran? Baru mau membangun PLTN saja sudah dihalang-halangi AS. Ini jelas sebuah perlakuan yang tidak adil. Karena itu, ketika pemerintah SBY menyetujui resolusi PBB untuk mengembargo Iran, DPR bereaksi keras. Dalam sejarah DPR, mungkin baru kasus interpelasi persetujuan pemerintah atas embargo soal nuklir Iran itulah yang mendapat dukungan paling luas. Hampir semua fraksi mendukung interpelasi tersebut. Ini menunjukkan, bahwa kita bisa memahami niat serius Iran untuk membangun PLTN-nya.
Sampai di sini, kita perlu merenung. Kenapa rakyat Indonesia membela habis-habisan Iran untuk membangun PLTN-nya, sementara kita sendiri, menolak habis rencana pemerintah untuk membangun PLTN? Di sini, pasti ada yang tidak matching!
Celakanya, masyarakat kita mudah sekali digiring untuk mengikuti sesuatu yang tidak matching ini. Dengan demikian, kami sering bertanya-tanya – apakah penolakan pembangunan PLTN di Muria yang ramai diberitakan media massa itu benar-benar murni atau rekayasa?
Kalau kita mau jujur, seharusnya negara yang paling pantas menolak kehadiran teknologi nuklir adalah Jepang. Negeri ini pernah merasakan langsung dahsyatnya bom atom pada tahun 1945 , yaitu ketika kota Hiroshima dan Nagasaki dibom atom Sekutu. Dua kota tersebut luluh lantak. Tiga ratus ribu lebih korban tewas akibat ledakan bom atom di Jepang itu. Tapi anehnya, Jepang saat ini, adalah negara yang termasuk paling banyak mempunyai PLTN. Sekitar 40 persen kebutuhan energi Negeri Sakura ini dipenuhi dari PLTN. Kita tahu, Jepang adalah negara kepulauan yang secara geologis tanahnya sangat labil, karena wilayahnya terletak dalam kawasan ring of fire (cincin gunung api), sama seperti Indonesa. Bahkan, kondisi tanah di Jepang lebih labil lagi dibanding Indonesia. Jepang juga mempunyai sumber panas bumi yang besar, ombak laut yang kuat, dan angin “Samudra Pasifik” yang kencang.
Tapi, kenapa Jepang lebih memilih mengembangan PLTN ketimbang sumber-sumber energi alternatif tersebut? Logikanya: bila Jepang yang negaranya sering dilanda gempa saja terus mengembangkan energi nuklirnya, kenapa Indonesia tidak. Ahli-ahli Jepang pasti tahu bahwa membangun PLTN di daerah banyak gempa resikonya sangat besar – tapi, itu tidak menghalangi niatnya untuk membangun PLTN. Sikap Jepang justru tidak menghindari PLTN, sebaliknya mempelajari secara mendalam, bagaimana caranya membangun PLTN yang aman di daerah yang labil. Mental bangsa Jepang tidak seperti burung Onta (kalau ada bahaya, dia lari dan menyurukkan kepalanya di pasir, agar tidak melihat bahaya tersebut). Mental bangsa Jepang sangat gagah:bila ada tantangan, mereka pelajari dan teliti tantangan tersebut, sampai akhirnya dia menemukan resepnya untuk menghadapi tantangan itu dengan aman. Sekarang, bandingkan dengan sikap bangsa Indnesia menghadapi PLTN Jepara?
Tentang kebocoran reaktor, sampah radioaktif, dan lain-lain yang pernah terjadi di beberapa negara pemilik PLTN, itu adalah sebuah risiko. Dalam kegiatan apa pun, pasti ada risikonya. Bahkan orang makan pun ada risikonya, bisa keracunan kalau makanannya tidak bersih. Yang dipersoalkan, kenapa sikap sebagian dari kita membabi buta menolak PLTN tanpa belajar dari bangsa-bangsa lain yang sudah menikmati PLTN dan sangat ingin memiliki PLTN sampai rela mempertaruhkan segalanya demi PLTN? Hal ini perlu kita pikirkan bersama. Renungkan keinginan Iran untuk memiliki PLTN, padahal Iran adalah negara kaya minyak. Renungkan sikap Jepang yang memilih PLTN untuk memenuhi kekurangan energinya padahal negeri itu sangat rawan gempa!
Last but not least, belum lama ini, majalah The Economist menulis, bahwa untuk mengatasi global warming, salah satunya, adalah memperbanyak PLTN di dunia. Pembangkit listrik yang memakai batu bara, solar, dan gas – semuanya mengeluarkan emisi karbon dioksida sehingga berdampak pada pemanasan suhu bumi. Sedang PLTN, sama sekali tidak mengeluarkan emisi gas karbon dioksida tersebut. Saat ini, di tengah makin besarnya dampak global warming yang berakibat naiknya permukaan air laut, makin banyaknya badai, dan kacaunya iklim, pembangunan PLTN perlu dilihat secara arif dan perspektif. Bila dilihat dari kacamata global warming, mungkin ulama NU perlu merevisi fatwanya. Pembangunan PLTN tidak lagi haram, tapi mungkin berubah jadi sunnah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar